Oleh: Ahmad Wansa Al-faiz.
Reformasi 1998 melahirkan harapan besar bagi bangsa Indonesia, yakni demokrasi yang terbuka, supremasi sipil, serta penghentian dominasi militer dalam politik. Namun, dua dekade lebih setelah euforia itu, kita menyaksikan sebuah realitas yang tidak hitam putih. Di antara sipil murni dan militer aktif, muncul satu kategori baru: purnawirawan. Inilah yang sering disebut sebagai zona abu-abu (grey area) dalam dinamika pemerintahan kita.
Zona abu-abu ini bukan sekadar kategori administratif pensiunan militer. Mereka hadir sebagai aktor politik, pejabat publik, bahkan tokoh masyarakat yang membawa dua dunia sekaligus: pengalaman militer dan status sipil. Secara formal mereka adalah warga sipil, tetapi secara kultural mereka tetap membawa habitus militer, yakni disiplin komando, solidaritas korps, dan jaringan yang kuat.
Fenomena ini menghadirkan dilema. Di satu sisi, purnawirawan bisa memberi kontribusi positif berupa stabilitas, ketegasan, dan kepemimpinan yang cepat mengambil keputusan. Di sisi lain, kehadiran mereka justru bisa mereproduksi logika militer dalam ruang sipil, bahwa hierarki lebih diutamakan daripada deliberasi, perintah lebih kuat daripada musyawarah, loyalitas korps lebih kokoh daripada akuntabilitas publik.
Jika kita melihat dari perspektif sosiologi politik, zona abu-abu ini adalah bentuk civilitation of democracy—upaya demokrasi Indonesia untuk mencerna warisan militeristik dalam bingkai sistem sipil. Demokrasi Indonesia tidak menolak sepenuhnya warisan Orde Baru, tetapi berusaha menyesuaikannya. Akibatnya, lahirlah model demokrasi hibrida, yakni demokrasi yang secara prosedural sipil, tetapi secara substansial masih menyisakan bayang-bayang militer.
Inilah kontradiksi yang kita alami pasca-1998. Reformasi menjanjikan supremasi sipil, namun dalam praktiknya, militer tetap hadir lewat jalur purnawirawan. Apakah ini sebuah model baru pemerintahan yang menggabungkan kelebihan dua dunia, atau justru kesenjangan baru sipil–militer dalam baju demokrasi?
Jawabannya tergantung pada bagaimana kita sebagai masyarakat sipil mengawal demokrasi. Bila purnawirawan diposisikan dalam kerangka hukum dan demokrasi yang transparan, mereka bisa menjadi aset. Namun bila dibiarkan tanpa kontrol, mereka bisa menjadi jalan bagi kembalinya dominasi militer dalam politik.
Maka, tugas besar demokrasi Indonesia bukan sekadar merayakan kebebasan, melainkan memastikan bahwa zona abu-abu ini tidak menjadi ruang gelap bagi lahirnya kembali otoritarianisme. Demokrasi pasca-1998 adalah demokrasi yang sedang belajar: civilitation yang masih mencari bentuk antara harapan utopia dan realitas sosial yang kompleks.